Bangsa
Indonesia adalah bangsa majemuk, beragam sosial, etnis, budaya, agama, aspirasi
politik dan lain sebagainya, sehingga bangsa Indonesia sering disebut sebagai
bangsa multikultural. Pada pihak lain, realitas "multikultural"
tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali
"kebhine-katunggalikaan yang dapat menjadi "integrating force"
yang dapat mengikat seluruh keragaman etnis, budaya, dan agama". Kesadaran
tentang multikulturalisme sudah muncul sejak negara Republik Indonesia
terbentuk dan digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain
kebudayaan bangsa Indonesia. Tetapi, bagi bangsa Indonesia masa kini konsep
multikulturalisme menjadi sebuah konsep baru dan asing. Karena kesadaran
multikulturalisme yang dibentuk oleh pendiri bangsa ini tidak terwujud
pada masa Orde Baru. Kesadaran tersebut dipendam atas nama persatuan dan
stabilitas negara yang kemudian muncul paham mono-kulturalisme yang menjadi
tekanan utama dan akhirnya semuanya memaksakan pola yang berkarakteristik
”penyeragaman” berbagai aspek, sistem sosial, politik dan budaya, sehingga
sampai saat ini wawasan multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah.
Perbedaan budaya,
agama, aspirasi politik, kepentingan, visi dan misi, keyakinan, dan tradisi
merupakan sebuah konduksi dalam hubungan interpersonal yang kadang-kadang juga
menjadi perbedaan perilaku dalam memahami sesuatu. Maka dapat dikatakan bahwa
berbagai kekisruan etnis yang merebak dibanyak tempat di wilayah Negara
Kesatauan Republik Indonesia, merupakan akibat dari rendahnya kesadaran dan
wawasan multikulturalime. Saat ini kita mencoba mencari terobosan baru yaitu
dengan menempuh strategi menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan
pembudayaan nilai-nilai multikulturalis. Melalui pendekatan inilah, dari SD
sampai Perguruan Tinggi, Indonesia akan berhasil membentuk bangsanya yang dalam
perkembangannya melampaui masyarakat kebhinekatunggalikaan. Kaitannya dengan
nilai-nilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui sistem
pendidikan pada suatu masyarakat.
Tekanan
multikulturalisme bisa kita transfer ke dalam pembelajaran di sekolah.
Maka gagasan pembelajaran bercorak multikultural, bisa dipahami sebagai suatu
proses penyadaran terhadap adanya keanekaragaman serta kesediaan memberlakukan
setiap etnis, budaya dan agama secara egaliter. Dalam rangka itu, para
siswa diberi penguatan agar bisa mentransformasikan pengalamannya yang
subjektif, ke pengalaman dengan subjektivitas ganda
(double-subjectivism).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar