Tanggung
jawab profesi lebih ditujukan kepada masyarakat ilmuan dalam pertanggungjawaban
moral yang berkaitan landasan epistemologis. Tanggung jawab profesional ini
meliputi (1) kebenaran, (2) kejujuran, (3) tanpa kepentingan langsung, (4)
menyandarkan kepada kekuatan penghujahan, (5) rasional, (6) kritis, (7)
terbuka, (8) pragmatis, dan (9) netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatic (Suriasumantri,
dkk, 1999:8). Seorang yang melakukan ketidakjujuran ilmiah mendapatkan hukuman
yang kuat. Hukuman itu berupa hukuman moral dari sesama ilmuan. Hukuman itu
lebih berfungsi dan lebih efektif dibandingkan dengan hukuman legal.
Tanggung jawab sosial yang dimaksud
adalah pertanggungjawaban ilmuan terhadap masyarakat melibatkan asas moral
tentang pemilihan etis terhadap objek
penelaahan keilmuan dan penggunaan ilmiah, terdapat dua tafsiran yang
berbeda. Kelompok ilmuan yang pertama menafsirkan bahwa ilmuan harus bersikap
netral, terserah kepada masyarakat untuk menentukan objek apa yang akan
ditelaah dan untuk apa pengetahuan yang disusun kaum ilmuan itu dipergunakan. Kelompok
ilmuan kedua berpendapat bahwa ilmuan mempunyai tanggung jawab sosial yang
bersifat formal dalam mendekati permesalahan tersebut. Sikap kelompok ilmuan kedua didasarkan kepada
analisis sejarah mengenai interaksi antara ilmu dan masyarakat. Sejarah
perkembangan ilmu telah berada pada ambang kritis. Ilmu bukan saja mampu
mengembangkan cara yang mempermudah kehidupan mansusia. Akan tetapi mampu mengubah
kodrat manusia (Suriasumantri, dkk, 1999:9).
Ketiga sisi yang meliputi
kepribadian, identitas, dan keunikan diri tidak boleh dipisahkan satu dengan
yang lain. Karena konsep jati diri manusia baru dapat dijelaskan bila ketiga
aspek ini menyatu pada diri setiap individu dan untuk menganalisis jati diri
diperlukan analisis yang integral. Sebab masing-masing unsur di dalam diri
manusia tentu mengalami perkembangan sendiri dan melibatkan masyarakat dan
dunianya. Jadi, yang terlibat dalam interaksi dengan masyarakatnya dan
mengalami perkembangan dari waktu ke waktu bukan hanya kepribadian secara
keseluruhan, tetapi juga masing-masing unsur konstruktif kepribadian yang tak
lain adalah identitas dan keunikan setiap individu.
Dengan demikian, jati diri ilmuwan dengan
sendirinya meletakkan satu pertanggungjawaban ilmu. Pertanggungjawaban ilmu
mengandaikan adanya sebuah sebab yang karena dirinya menjadi sebab dan bukan
secara ilmiah niscaya menyebabkan sesuatu. Karena itu, berbicara mengenai
pertanggungjawaban berarti secara tidak langsung berbicara tentang
pertanggungjawaban manusia yang menjalankan, menerapkan, dan menggunakan ilmu
(Sidharta, 2008:85-86)
Titik berat dari pertanggungjawaban ilmu tidak hanya
terletak pada perbaikan dari apa yang terjadi oleh campur tangan manusia telah
menciptakan efek sehingga menjadi rusak. Ilmu telah menemukan dan
memperlihatkan bahwa tertib alam dan masyarakat terbuka bagi perubahan, maka
terjadi pertanggungjawaban ilmu untuk mengusahakan terwujudnya kemungkinan
tertib yang baik. Tanpa studi ilmiah yang lebih jauh, manusia tidak mampu untuk
secara negative meniadakan efek-efek bias dari perubahan yang merugikan
manusia. Ilmuwan secara positif telah menumbuhkan perubahan-perubahan yang kini
ternyata mungkin pada arah yang diinginkan. Dengan demikian, masalah
pertanggungjawaban ilmu mengandung masalah etika sekitar “tegangan” antara
kenyataan yang ada dan kenyataan yang seharusnya ada dan yang secara otomatis
terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar